REVIEW PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14/PRT/M/2017
TENTANG
PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Ayat 11
"Desain universal
adalah rancangan bangunan gedung dan fasilitasnya yang dapat digunakan oleh
semua orang secara bersama-sama tanpa diperlukan adaptasi/perlakuab
khusus."
Kritik
“Menurut saya pada pasal
tersebut kurang tepat, seharusnya diganti menjadi "Desain universal adalah
rancangan bangunan gedung dan fasilitasnya yang dapat digunakan oleh semua
orang secara bersama-sama dengan adaptasi mudah. "
BAB
III PERUMAHAN
Pasal 12 Ayat 1
“Penghunian
rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.”
Kritik
Menurut saya, yang terdapat pada BAB III pasal 12 ayat 1
dalam penggunaan kata “Oleh Bukan” tidak tepat. Yang seharusnya “Penghunian rumah oleh
pemilik hanya sah apabila ada persetujuan...”
BAB IV PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN
PENGENDALIAN
Pasal 10 ayat 2 C
mengatur pemanfaatan ruang guna
meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.
Kritik
Pada pelaksanaannya masih banyak
daerah yang tertinggal dalam aspek pembangunan
Saran
Pemerintah di harapkan melakukan
seperti yang di lakukan dalam UU
CONTOH KASUS
Di Kota Salatiga, terutama di
kawasan CBD (Central Bussiness District) kota yang berada dekat
dengan kawasan permukiman Puncuran yang terletak di sekitar koridor Jl. Jend.
Sudirman yang merupakan pusat Kota Salatiga. Kawasan ini terletak di Bagian
Wilayah Kota I (BWK I) dimana kawasan ini diperuntukan bagi aktivitas
perdagangan dan jasa, selain juga kegiatan pemerintahan dan perkantoran.
Populasi penduduk di pusat kota
Salatiga memang tergolong tinggi akibat proses urbanisasi dan kebanyakan dari
urbanis yang datang adalah mereka yang ingin berjualan di pasar serta sebagian
besar dari mereka tergolong masyarakat ekonomi
menengah ke bawah. Secara tidak langsung para urbanis tersebut membutuhkan
permukiman yang paling dekat dengan pusat perdagangan. Perkembangan kebutuhan
hunian di pusat kota Salatiga tersebut kurang diimbangi oleh ketersediaan
lahan, sehingga dengan terus meningginya arus urbanisasi mengakibatkan
penambahan jumlah hunian yang dilakukan oleh para urbanis cenderung mengabaikan
aturan-aturan dasar tentang pengadaan bangunan rumah, bahkan karena
keterbatasan lahan tersebut terdapat sebagian dari mereka yang menggunakan
sebagian badan jalan untuk mendirikan bangunan yang dijadikan sebagai tempat
tinggal maupun usahanya. Akibatnya adalah permukiman di pusat kota tersebut
menjadi kumuh dan suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya
kualitas lingkungan fisik kawasan.
Menurut Khomarudin (1997: 83-112),
lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai kawasan yang lingkungan
berpenghuni padat (melebihi 500 0rg/Ha), kondisi sosial ekonominyamasyarakatnya
rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar. Kawasan permukiman
Puncuran ini memang kawasan yang terpadat di Kota Salatiga dan Pemerintah
Daerah sudah memberikan banyak sekali bantuan dana dan melaksanakan
program-program yang berhubungan dengan menajemen kota dalam penataan kawasan
ini tiap tahunnya. Akan tetapi kawasan ini tidak menunjukkan perubahan yang
berarti dan masih berkesan kumuh dan kualitas lingkungannya pun tetap buruk.
Adapun pembahasan ini terkait pada bagaimana peran pemerintah dalam penyediaan
hunian bagi penduduk kota sehingga kemungkinan munculnya permukiman kumuh di
suatu kota dapat diminimalisir karena pada dasarnya penyediaan permukiman
pemerintah harus ditujukan untuk penduduk dengan berbagai kalangan di suatu
kota. Namun dalam pembahasan kali ini, lebih mengerucut pada studi kasus penyediaan
rumah bagi penduduk yang berada di permukiman kumuh dengan karakteristik
penduduk yang berpenghasilan menegah ke bawah.
Dalam konteks manajemen
kota, hampir setiap kota mempunyai permasalahan akan permukiman kumuh dan hal
tersebut memang rentan terjadi, begitu pula yang terjadi di pusat kota
Salatiga. Permasalahan ini telah menjadi sorotan pemerintah sejak dulu. Terdapat perubahan tahapan dalam menangani masalah
permukiman kota dari sudut pandang pemerintah di negara berkembang yang
menghadapi pertumbuhan populasi yang tinggi dan masalah permukiman kumuh.
Terdapat lima tahap kontras yang menunjukkan sikap pemerintah terhadap
penyediaan permukiman kota, antara lain :
1.Tahap
I (Tahun 1950 - 1960-an) :
Pemerintah
negara berkembang hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai
akar dari permasalahan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh
dan pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah masih tidak
mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar
dari permasalahan ekonomi saja.
2.Tahap
II (Tahun 1960-1970-an) :
Pemerintah
mulai menyadari bahwa permukiman informal dilihat sebagai masalah sosial. Pada
tahapan ini pemerintah mengerahkan institusi dan dana untuk pembangunan public
housing (misal : rumah susun) dan permukiman kumuh (slum area)
dilenyapkan (salah satunnya dengan cara penggusuran).
3.Tahap
III (Tahun 1970-1980-an) :
Pemerintah
mulai menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai permukiman
permanen dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak ditangani).
Pada tahapan ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi negara
berkembang menjadi negara maju mengadakan adanya program rumah inti (site
and service program).
4.Tahap
IV (Tahun 1980-1990-an) :
Pemerintah
sudah sadar bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman informal telah
berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut sebagai sektor
informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah. Pada
tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk
merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.
5.Tahap
V (Tahun 1990-sekarang) :
Pemerintah sudah menyadari bahwa perlu adanya institusi atau
kelembagaan khusus yang memikirkan proses di tahap IV agar dapat terakomodasi,
salah satunya yaitu pemerintah harus memberikan tindakan yang berorientasi
dalam mendukung kegiatan/ usaha para penghuni permukiman informal. Pada tahapan
ini pemerintah memastikan adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan
terjangkau untuk semua kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan
informal yang tergolong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah).
Melihat permasalahan Kawasan Puncuran,
pusat Kota Salatiga yang dianggap sebagai kawasan permukiman kumuh, seharusnya
tahapan kontras yang menunjukkan sikap pemerintah terhadap penyediaan
permukiman kota dapat mensiasati permasalahan permukiman kota, salah satunya
dengan adanya pembangunan rumah susun (rusun) yang ditujukan bagi para penghuni
permukiman informal tersebut. Solusi berupa rusun yang dilakukan oleh
pemerintah ini juga diharapkan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para
penghuni permukiman informal yang berada di Kawasan Puncuran (khususnya yang
bertempat tinggal dengan jenis bangunan rumah yang non-permanen, temporer serta
yang memakan badan jalan untuk mendirikan bangunan rumah). Mereka menginginkan
tempat tinggal yang memiliki ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap serta
kemudahan jangkauan tempat untuk bekerja/berjualan. Untuk itu apabila
pemerintah ingin program rusun ini dapat berjalan maka sasaran dari pembangunan
rusun itu harus sudah jelas dan tepat. Metode yang digunakan untuk mengalihkan
penduduk yang bermukim di permukiman kumuh dapat dilakukan dengan cara
sosialisasi dan membuat daya tarik tertentu agar menarik perhatian mereka untuk
pindah ke tempat tinggal yang lebih layak. Selain itu, dengan menggunakan cara
penggusuran. Penggusuran ini dilakukan oleh aparat pemerintah apabila para
penghuni permukiman informal bersikukuh tidak mau berpindah ke tempat baru
(dalam hal ini tempat permukiman yang layak huni). Hal inilah yang membuat
aparat pemerintah menggunakan ‘cara paksa’ untuk menertibkan permukiman informal.
Selain itu terdapat metode lain dalam mengatasi masalah pemukiman kumuh, yaitu
dengan menggunakan metode housing backlog (dihitung berdasarkan jumlah
rumah yang kurang di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk miskin). Mereka akan
mendapatkan rumah dari pemerintah dengan cara ‘antrian rumah’ atau menunggu
giliran untuk mendapatkan rumah. Namun metode ini tidak efektif apabila
dilaksanakan di Indonesia. Karena sering kali hasil sensus jumlah penduduk
miskin dengan kenyataanya di suatu kota tidak sama jumlahnya.
Komentar
Posting Komentar